Guru Wajib Pahami Enam Strategi Ini Sebelum Mengajar

Guru perlu mengkaji strategi ini untuk mencapai tujuan pembelajaran.







VIVA.co.id – Mengajar merupakan kegiatan guru untuk membelajarkan siswa secara dinamis. Guru berusaha untuk menciptakan situasi dan kondisi bagaimana siswa dapat belajar dengan baik. Hal ini tidak akan terwujud dengan sendirinya tanpa strategi atau siasat khusus dari guru.

Yang dihadapi guru di ruang kelas adalah individu yang sedang berkembang menuju taraf kedewasaan. Individu yang terdiri dari berbagai karakter, sikap, dan tingkah laku, potensi, serta minat dan kemauan belajar.
Mau atau tidak, menghadapi siswa yang heterogen di dalam sebuah kelas, guru harus mengelola kondisi ini dengan penuh perhitungan. Tidak ada jaminan seorang guru akan sukses mengelola pembelajaran tanpa siasat sebelum proses pembelajaran berlangsung.

6 Strategi Penting Sebelum Mengajar

6 Strategi penting sebelum mengajar – Mengajar merupakan kegiatan guru untuk membelajarkan siswa secara dinamis. Guru berusaha untuk menciptakan situasi dan kondisi bagaimana siswa dapat belajar dengan baik. Hal ini tidak akan terwujud dengan sendirinya tanpa strategi atau siasat khusus dari guru.

Yang dihadapi guru di ruang kelas adalah individu yang sedang berkembang menuju taraf kedewasaan. Individu yang terdiri dari berbagai karakter sikap dan tingkah laku, potensi serta minat dan kemauan belajar.


Mau atau tidak, menghadapi siswa yang heterogen di dalam sebuah kelas, guru harus mengelola kondisi ini dengan penuh perhitungan. Tidak ada jaminan seorang guru akan sukses mengelola pembelajaran tanpa siasat sebelum proses pembelajaran berlangsung.

strategi,strategi mengajar
Sekurang-kurangnya ada 6 Strategi penting sebelum mengajar yang perlu dikaji ulang oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran, yaitu:

1.Memahami kurikulum

Kurikulum merupakan pedoman utama bagi guru dalam menjalankan pembelajaran. Oleh sebab itu guru perlu membaca, mempelajari dan memahami isi kurikulum dengan baik. Hasil kegiatan ini dituangkan kedalam perangkat mengajar sehingga siap dioperasionalkan di ruang kelas.

2.Menyiapkan perangkat mengajar

Perangkat mengajar adalah persiapan tertulis yang dibuat dan dirancang guru sedemikian rupa sehingga bisa diterapkan dengan baik di ruang kelas. Tentu saja perangkat mengajar setiap guru akan berbeda meskipun strukturnya sama. Perbedaan ini disebabkan oleh karakter siswa dan ketersediaan sarana belajar di suatu sekolah.

3.Memilih metode pembelajaran
Metode pembelajaran merupakan cara atau teknik guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Banyak sekali metode pembelajaran yang dapat dipilih dan digunakan guru untuk melaksanakan pembelajaran.

4.Menyediakan media/sumber belajar

Media/sumber belajar berfungsi untuk menunjang kelancaran proses belajar siswa. Dengan menggunakan media belajar, siswa akan mudah menyerap materi pelajaran. Media belajar tidak mesti yang mahal dan canggih. Media belajar sederhana sekalipun akan membantu peserta didik dalam mencerna materi pelajaran yang disajikan.

5.Memahami karakter siswa

Mempelajari karakter siswa menjadi kegiatan penting bagi guru. Keberhasilan pembelajaran juga ditentukan oleh bagaimana karakter siswa dalam satu kelas. Dengan memahami karakter ini guru dapat menentukan bagaimana corak pembelajaran yang akan dijalankan.

6.Merancang penilaian
Semua kegiatan pembelajaran diakhiri dengan penilaian. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan proses pembelajaran yang dijalankan. Selain itu dengan kegiatan penilaian, guru dapat menganalisa proses yang sudah berlangsung dan mempertimbangkan proses pembelajaran berikutnya.

Oleh sebab itu penilaian perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat mengukur apa yang hendak dicapai. Analisa hasil kegiatan penilaian akan mengarahkan guru untuk mengambil tindakan selanjutnya, apakah perlu perbaikan (remedial) atau pengayaan materi pelajaran. 

Demikian 6 strategi penting sebelum mengajar yang perlu dipertimbangkan guru. Mudah-mudahan menambah inspirasi para guru untuk mendiskusikannya.

Sumber: www.viva.co.id

Mencari Solusi atas Polemik Lima Hari Sekolah

Oleh Suwendi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Permendikbud ini diposisikan sebagai pengejawantahan atas program penguatan pendidikan karakter kepada seluruh siswa sekolah, dengan memberlakukan lima hari sekolah dalam satu minggu.Ikhtiar ini, sebagaimana tercantum dalam konsideran pertimbangannya, dimaksudkan untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu dalam menghadapi tantangan perkembangan era globalisasi.
Namun sayangnya, kehadiran Permendikbud tersebut menimbulkan pro-kontra di masyarakat luas, sehingga Presiden Jokowi, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin, didampingi oleh Mendikbud RI, Muhadjir Effendy, di istana negara, dinyatakan bahwa perlu ada penyesuaian regulasi dari Permendikbud menjadi Peraturan Presiden. Namun, hingga kini, tampaknya posisi Permendikbud tersebut, sebagaimana pernyataan Mendikbud dalam sejumlah pemberitaan, tetap akan dilaksanakan pada tahun ajaran baru 2017/2018 mendatang.
Dalam konteks ini, kebijakan penguatan pendidikan karakter dalam bentuk Permendikbud tentang Hari Sekolah dipastikan masih problematis. Masih menyimpan sejumlah penolakan, miskomunikasi, dan kekuranganjelasan konsep. Hal ini memberikan pelajaran bahwa kita tidak cukup hanya bermodal niat baik semata, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek teknis-implementatif sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Jika demikian, solusi apa yang bisa ditawarkan sehingga niatan penguatan pendidikan karakter itu bisa diimplementasikan? Tulisan sederhana ini berusaha untuk menjawab persoalan tersebut.

Urgensi penguatan pendidikan karakter dalam konteks pendidikan sesungguhnya telah lama dirasakan oleh pemerintah, tak terkecuali Pemerintah Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pemerintah Daerah telah menerbitkan regulasi tentang wajib belajar Madrasah Diniyah Takmiliyah. Regulasi yang dilahirkan memiliki varian yang beragam, mulai Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota, hingga Surat Edaran.
Hingga kini, hampir di setiap provinsi, terdapat kabupaten/kota di propinsi tersebut yang telah mengeluarkan regulasi itu. Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu Jawa Barat-lah yang pertama kali menerbitkan Perda MDT (Peraturan Daerah Madrasah Diniyah Takmiliyah) ini sehingga kemudian diikuti oleh Pemerintah Daerah lainnya. Bahkan, di propinsi Jawa Barat, kini hampir seluruh Kabupaten/Kota telah menerbitkan regulasi tersebut.

Lahirnya Perda MDT itu sesungguhnya didasarkan atas kegelisahan masyarakat atas butuhnya pendidikan karakter untuk warganya dengan menggunakan pendekatan pendidikan keagamaan Islam. Pendidikan karakter akan sangat ampuh dan mengenai sasaran jika pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan dengan baik. Sebab, karakter merupakan perwujudan atas kesadaran dan kepribadian serta sifat yang melekat pada seseorang yang didorong atas nilai-nilai moralitas dan agama. Dorongan moral dan agama akan sangat berpengaruh secara signifikan terhadap perwujudan karakter.

Dalam konteks pendidikan di sekolah, mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) mendapatkan alokasi waktu 2 hingga 3 jam pelajaran dalam satu minggu. Alokasi waktu ini dalam kenyataannya belum mampu membekali siswa sekolah untuk memiliki pemahaman, pengetahuan, dan keterampilandalam mengamalkan ajaran agamanya dengan baik. Pendeknya, jika siswa itu mengandalkan pendidikan agamanya hanya dari sekolah saja dengan alokasi waktu 2 hingga 3 jam pelajaran itu maka seringkali tidak akan mencapai apa yang diharapkan, seperti mampu membaca tulis Alquran, menjalankan shalat dengan baik serta pengetahuan dasar keagamaan lainnya.
Apalagi pendidikan karakter, tentu tidak akan mampu dituntaskan dengan alokasi 2 hingga 3 jam pelajaran saja. Di sinilah masyarakat dan pemerintah daerah membutuhkan kehadiran MDT. Sebab, MDT, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014, merupakan layanan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan untuk melengkapi, memperkaya, dan memperdalam pendidikan agama Islam pada sekolah.

Materi yang diajarkan dalam MDT terdiri atas Alquran-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Proses penyelenggaraan MDT seringkali dilakukan oleh masyarakat setelah siswa pulang sekolah hingga waktu shalat Ashar. Berdasarkan data EMIS Kementerian Agama, secara akumulasi, MDT kini sebanyak 76.566 lembaga, 6,000,062 santri, dan 443.842 ustadz.

Menyadari butuhnya masyarakat dan Pemerintah Daerah atas penyelenggaraan MDT, di satu sisi, dan kelahiran Permendikbud 23 Tahun 2017 sebagai implementasi penguatan pendidikan karakter, di sisi yang lain, tampaknya keduanya memiliki titik temu yang sama, yakni pentingnya atas pendidikan karakter. Untuk itu, perombakan yang sangat fundamental dari Permendikbud 23 Tahun 2017 menjadi Peraturan Presiden dengan berorientasi pada peningkatakan pendidikan karakter patut untuk dikawal bersama. Pendidikan karakter merupakan kata kunci yang harus dijadikan substansi atas regulasi itu.
Tentu saja, sebagai hal yang substantif, jangan sampai hal-hal teknis-operasional itu justeru bertolak belakang atau mengganggu atas hal yang substantif tersebut. Tegasnya, pendidikan karakter merupakan hal yang harus dikawal bersama. Jangan sampai, kebijakan teknis berupa Lima Hari Sekolah itu justeru bertolak belakang atau kontra-produktif atas penyelenggaraan pendidikan karakter sendiri.

Pada tingkat ini, penulis dapat memahami bahwa gejolak resistensi dari kalangan masyarakat itu hanyalah terkait dengan kebijakan 5HS (lima hari sekolah) sebagaimana diatur dalam Permendikbud 23/2017, bukan menolak pendidikan karakter. Kebijakan 5HS tidaklah identik dengan pendidikan karakter; dan pendidikan karakter tidak hanya diterapkan dengan kebijakan 5HS ini.

Untuk mensukseskan pendidikan karakter, peraturan presiden yang hendak dibuat selayaknya juga menjelaskan tentang definisi pendidikan karakter, posisi ideal pendidikan karakter, syarat dan ketentuan yang dipentingkan dalam proses pendidikan karakter itu, di samping strategi dan langkah teknis penyelenggaraan pendidikan karakter. Demikian juga, perlu dipastikan dalam Perpres yang dirancang bahwa guna efektivitas proses pendidikan karekter perlu melibatkan layanan pendidikan keagamaan, seperti pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, dan pendidikan Al-Qur'an.
Pendidikan keagamaan ini dalam kenyataannya telah berkiprah dalam membentuk warga bangsa yang memiliki komitmen keagamaan dan kebangsaan sekaligus, dan itu telah berlangsung sebelum negara ini lahir. Program pendidikan karakter dengan menafikan pendidikan keagamaan itu bagaikan peribahasa “jauh panggang dari api”. Tujuan pendidikan karakter akan sulit tercapai, untuk tidak mengatakan akan mengalami gagal total.

Pada aspek teknis, program pendidikan karakter melibatkan sejumlah Kementerian/Lembaga, utamanya yang menjalankan fungsi pendidikan, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Ristek dan Dikti, Kementerian Dalam Negeri, dan lain-lain. Kolaborasi antar kementerian ini di samping untuk mendudukkan bahwa pendidikan karakter menjadi hajat negara dan semua warga negara, juga untuk menjamin bahwa penyelenggaraan pendidikan karakter tidak mengganggu pelaksanaan kebijakan perda MDT yang selama ini telah berjalan.
  
Di samping, yang tidak kalah penting untuk dicatat bahwa drafting Perpres Pendidikan Karakter perlu melibatkan unsur-unsur civil society utamanya yang bergerak di bidang pendidikan, seperti RMI (Rabithah Ma’ahidil Islamiyah), LP Ma’arif NU, Dikdasmen PP Muhammadiyah, Forkum Komunikasi Diniyah Takmiliyah, Forum Komunikasi Pendidikan Alquran, dan stakeholder lain, terutama penyelenggara pendidikan di masyarakat. Regulasi yang berdampak terutama pada layanan pendidikan keagamaan mau tidak mau dalam pembahasannya harus melibatkan komunitas civil society. Jika terjadi miskomunikasi, apalagi missosialisasi, maka dipastikan terjadi resistensi.

Hal lain yang perlu ditegaskan dalam Perpres itu adalah adanya jaminan bahwa itu tidak akan mengganggu atas operasionalisasi lembaga pendidikan yang ada saat ini serta berkontribusi besar atas pembangunan bangsa, lebih-lebih jangan sampai berpotensi melenyapkan layanan pendidikan keagamaan yang telah ada.
Selain itu, dipastikan afirmasi pembiayaan dari sejumlah Kementerian/Lembaga harus adil diterima oleh masyarakat. Jangan sampai, layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak mendapat “kue pembangunan”, sementara layanan pendidikan yang ada di sekolah “jor-joran” mendapat kue tersebut. Jika ini yang terjadi, maka bisa jadi Perpres yang akan dihasilan mengalami nasib yang sama, sebagaimana nasibnya Permendikbud 23/2017. Semoga.

Penulis adalah Praktisi Pendidikan Islam.

Sumber: www.nu.or.id

Dirjen Pendis: Madrasah tidak Mungkin Lima Hari Sekolah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- madrasah tidak mungkin menerapkan aturan lima hari sekolah (lhs) pada tahun ajaran 2017/2018 sebagaimana diatur Permendikbud 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pasalnya, dengan enam hari sekolah saja, durasi pembelajaran di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) sudah sampai pukul 15.00 WIB hingga 16.00 WIB.


Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin menegaskan, bahwa madrasah tidak mungkin menerapkan aturan lima hari sekolah. “Kalau dibuat lima hari, bisa pulang puluk 18.00 WIB. Itu kan tidak mungkin. Masa sekolah dari jam 07.00 pagi sampai 18.00 WIB,” ucap dia, kemarin.



Kamaruddin menjelaskan, madrasah memiliki tambahan 10 jam pelajaran agama di setiap minggunya. Hal ini yang membedakan madrasah dengan sekolah yang jam pelajaran agamanya hanya 2 – 3 jam saja per pekan.



Karena sekolah hanya 2 – 3 jam seminggu belajar agama, lanjut Kamaruddin, maka idealnya siswa sekolah belajar agama di madrasah diniyah. Sebab, kalau hanya belajar agama 2 – 3 jam, pemahaman agamannya sangat minim. 



“Jadi, idealnya memang ke diniyah. Karena itu banyak Pemerintah Daerah yang membuat Perda, mewajibkan siswa sekolah ke diniyah. Karena sekolah tidak cukup pelajaran agamanya, itu sudah diketahui umum,” tegasnya. Kamaruddin mengaku, sudah menyampaikan hal ini dalam kesempatan berdiskusi dengan tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). 



Disinggung soal rencana penyusunan Peraturan Presiden yang akan menggantikan Permendikbud No 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah, Dirjen Pendidikan Islam mengaku, masih menunggu draft yang sedang disiapkan Kemendikbud. 



Namun demikian, Kamaruddin menilai, bahwa Prepres tersebut nantinya tidak sekedar mengatur tentang hari sekolah sebagaimana Permendikbud. Lebih dari itu, Perpres mengatur hal-hal yang lebih substantif terkait dengan Penguatan Pendidikan Karakter di lembaga pendidikan. “Jadi bukan lagi Perpres tentang Hari Sekolah, melainkan tentang Pendidikan Karakter,” tegasnya.



Tahun ajaran 2017/2018 akan dimulai pada 17 Juli 2017. Para siswa madrasah akan kembali belajar seiring usainya masa libur lebaran dan liburan sekolah.
Sumber : kemenag.go.id